Jaga Keutuhan Bangsa dan Waspadai Upaya Adu Domba

Sepanjang tahun 2016 terdapat beberapa kasus yang menarik perhatian publik. Salah satu kasus yang menyedot atensi publik adalah kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kasus ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Saat kunjungan tersebut, Ahok menyitir Surah Al Maidah Ayat 51 di depan warga serta pegawai negeri sipil (PNS) DKI. Gerah akan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menginisiasi aksi yang diikuti oleh umat Islam. Tak hanya sekali, massa yang berasal berbagai daerah di Tanah Air melakukan aksi hingga tiga kali. Ahok pun ditetapkan sebagai tersangka pada 16 November 2016.

Terkait dengan kasus diatas, Polda Metro Jaya menetapkan Buni Yani menjadi tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Buni Yani mengunggah potongan video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu pada akhir September 2016, yang isinya kemudian diduga telah menistakan agama.

Tidak berhenti disitu, kemudian tiba – tiba saja Ketua Dewan Pembina GNPF MUI, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Senin (26/12), karena diduga melecehkan umat Kristen. Habib Rizieq diduga melecehkan umat Kristen melalui isi ceramahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur pada 25 Desember 2016 lalu, berdasarkan tayangan video yang diunggah oleh dua akun media sosial, yakni akun Instagram Fauzi_ahmad_fiiqolby milik Fauzi Ahmad dan akun Twitter @sayareya. Selain melaporkan Habib Rizieq Shihab, PP PMKRI juga melaporkan 2 akun media social tersebut.

Menanggapi pelaporan terhadap Imam Besar FPI, Habib Rizieq berdasarkan konfirmasi tertulis atas berita tersebut, Sekjen Dewan Syuro DPD FPI Jakarta, Novel Chaidir Bamukmin, menyatakan bahwa hal penistaan agama tidak mungkin dilakukan oleh Rizieq, Apa yang dilakukan Habib Rizieq adalah menjelaskan dan menjabarkan Fatwa MUI 7 Maret 1981, yang memang haram mengucapkan selamat hari Natal, selain itu karena menista agama sangat dilarang keras dalam perjuangan FPI. Masih menurut Novel, FPI berencana untuk menuntut balik PMKRI dengan pasal pencemaran nama baik.

Panglima Daerah Laskar FPI, Ustadz Subhan menuding aktivis Katolik PMKRI hanya mengada-ada. "Aktivis Katolik PMKRI jangan mengada-ada !!!," tegas Subhan dikutip dalam situs resmi Imam Besar FPI, Rizieq Shihab, www.habibrizieq.co, Selasa (27/12/2016). "….Kalian mau apa ... ??? !!! Demi Allah ..., Kami siap Perang melawan kalian ... !!!," tegas Subhan.

Sementara yang lain Korps Mahasiswa Gerakan Pemuda Islam Indonesia (KOPMA GPII), Advocat Cinta Tanah Air (ACTA), Front Mahasiswa Islam (FMI), Anggota Komisi III DPR RI, Kristolog Indonesia Irene Handono, Brigade Pelajar Islam Indonesia (B. PII), Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara Institute, Hendardi, hingga ada ajakan pada seluruh elemen mahasiswa di Indonesia, dll menyayangkan pelaporan oleh PMKRI dengan alas an yang berbeda – beda, dari mengada – ada, hingga hindari upaya memecah belah bangsa.

KONFLIK SARA

SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.

Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan golongan, Indonesia menjadi negara paling rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu pecahnya bentrok antar mereka. Yang paling mengkhawatirkan adalah di tengah konflik itu ada saja orang yang memanfaatkan situasi itu sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Untuk mengingatkan bagaimana mengerikan konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia, Mari kita lihat ke belakang sejenak:

Sentimen Etnis Berujung Penjarahan
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan.
Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan hebat pada penghujung rezim Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indonesia dilanda krisisi ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam negeri.
Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang kalap.
Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di penghujung pemerintahan rezim Soeharto.
Konflik Agama di Ambon

Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Penyerangan Kelompok Syi'ah di Sampang

Aksi penyerangan terhadap pengikut Syi'ah terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur pada Agustus 2012 silam. Sebanyak dua orang warga Syi'ah tewas dan enam orang lainnya mengalami luka berat serta puluhan warga mengalami luka ringan.
Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2004. Klimaksnya adalah aksi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah jamaah Syi'ah lainnya serta sebuah musala yang digunakan sebagai sarana peribadatan. Aksi tersebut dilakukan oleh sekira 500 orang yang mengklaim diri sebagai pengikut ahlus sunnah wal jama'ah.
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA.
Ada banyak cerita kelam selain tiga hal kejadian/peristiwa di atas. Tapi ketiga peristiwa tersebut cukup sementara ini menjadi suatu kisah yang kemudian membuat kita berpikir dan merenung sehingga bersama – sama berupaya untuk menghindari peristiwa serupa hadir dan terjadi kembali.

Bagaimanapun, SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini. Kita dapat mencegah SARA menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara. Pertama, dalam membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan affirmative action, yakni memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang. Kedua, pemerintah harus menciptakan aparatur pemerintah yang netral dari segi politis. Ketiga, terciptanya suatu organisasi bagi kelompok tertentu yang dapat memberikan perlindungan politis bagi mereka, sehingga tak perlu mencari perlindungan kepada birokrasi. Keempat, menciptakan pemerintahan yang bersih dari segala jenis kecurangan.

Selain itu, patut juga menjadi pedoman apa yang disampaikan oleh MUI; Pertama, pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Alquran dan agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut. Ketiga, aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Alquran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional, dan profesional dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum. Dan kelima, Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di samping tetap mengawasi aktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang berwenang.

Pernyataan resmi MUI tidak mengandung substansi yang berlebihan atau melampaui tugas ulama, melainkan memberi taushiyah kepada seluruh elemen masyarakat agar ke depan kasus-kasus penistaan agama tidak terulang kembali. Pejabat publik tidak saja perlu menunjukkan kerjanya, tapi perlu menjaga kata-katanya dan memiliki kepekaan terhadap isu keagamaan.

Perdamaian adalah harapan setiap orang. Perdamaian tidak berarti membuat orang tidak menghindar dari konflik, atau dari perbedaan, justru menghargai perbedaan. Dialog dan rekonsiliasi merupakan kata kunci dari perdamaian. Minimal sebagai cara untuk memulihkan keadaan pluralistic yang sudah teregregasi secara mengental, yang berakibat bukan saja secara geografis, fisik, tetapi juga secara psikologis, emosional dan sangat menganggu pada mental, kepercayaan sikap dan sebagainya.

Politik adu domba, harus kita waspadai mengingat bangsa kita adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai suku, ras dan agama, Karena bagi orang-orang yang berfikir dan memiliki sudut pandang yang sempit, perbedaan dapat berpotensi gesekan dan akhirnya menimbulkan kecurigaan dan perpecahan. Adu domba memiliki beberapa ciri diantaranya dengan menyebarkan berita-berita yang dipelintir sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan perpecahan, dimana berita-berita tersebut adalah berita yang bersifat sensitif dan pastinya sangat menimbulkan keresahan, kecemasan, dan  kecurigaan didalam suatu kelompok sehingga menimbulkan perbedaan sudut pandang yang akhirnya melemahkan persatuan. Selain itu, teknik adu domba memiliki ciri adanya pihak-pihak tertentu dibelakang layar yang mendapatkan keuntungan dari suatu perpecahan, baik berupa kepentingan politik maupun ekonomi. Pihak-pihak tersebutlah yang bertanggung jawab atas berita-berita pemecah belah yang dilemparkan ke publik, dan biasa kita kenal dengan sebutan provokator atau aktor dibalik layar pemicu perpecahan. Ciri-ciri lainnya biasanya ada pihak ketiga yang mengajak bekerjasama dari salah satu pihak yang bertikai secara terselebung. Tetapi kerjasama tersebut biasanya sih tidak bertahan lama, karena pihak ketiga mengingkari atau menghianati kerjasama tersebut, karena pada intinya, pihak ketiga tersebut yang menyeting semuanya itu. Selain itu ada ciri lain yang bisa kita lihat dengan pengalihan isu dan sumber daya. Karena perpecahan dan kecurigaan, maka biasanya membuat lupa urusan-urasan lainnya, bahkan urusan yang paling penting, seperti ekonomi dan budaya. Energi dan tenaga terkuras sia-sia sehingga ekonomi melemah, dan pada saat ekonomi melemah, pihak lain masuk menyerang, mungkin jika pada zaman dahulu berperang secara terbuka, mungkin pada zaman ini bisa saja dengan tersembunyi berbagai dalih.
Taktik dan logika adu domba dapat kita patahkan dengan mau berpikir kritis dengan segala isu atau berita yang beredar. Dengan mau melihat potensi apa yang akan terjadi dengan perpecahan yang terjadi, ada atau tidaknya salah satu kelompok yang diuntungkan dari perpecahan tersebut, secara nalar pasti dapat kita filter melalui akal budi, bukan karena hanya meyakini apa yang ingin diyakini dengan menelan mentah-mentah isu dan berita yang benarnya hanya tergantung pada sebuah sudut pandang, bukan pandangan secara universal atau pandangan secara menyeluruh,
Kita harus selalu sadar dan saling mengingatkan kepada rakyat Indonesia akan pentingnya menjunjung dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Hal ini mengingat kerap kali ditemukan orang atau kelompok orang yang terus berupaya memecah belah bangsa dan menganggu stabilitas negara dengan tindakan teror. Ironisnya, sentimen SARA sering dihembuskan sebagai pemicu efektif terhadap kekacauan yang selama ini terjadi. Lain daripada itu, membawa-bawa agama dalam kepentingan politik juga menambah daftar kegagalpahaman sebagian kelompok dalam memaknai dasar negara Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan segala penguatnya.
*Supian Suri M. Ali Hamzah, SE., M.Ud., M.A. (Direktur Eksekutif Menteng 58 Institute)

Related

OPINI 6281574395594710073

Posting Komentar

emo-but-icon

item