Ketika Fatwa MUI jadi Polemik dan Tegangan Elite

Mediaaspirasi - Ini soal fatwa MUI. Polemik Fatwa MUI No 56 Tahun 2016 tentang hukum penggunaan atribut non-muslim terus berlanjut. Salah satunya usulan agar setiap fatwa MUI yang akan dikeluarkan harus berkoordinasi dengan aparat pemerintah dan aparat kepolisian. Model baru sensor fatwa MUI?
Fatwa MUI No 56 Tahun 2016 tentang hukum penggunaan atribut non-muslim yang diterbitkan pada 14 Desemebr 2016 lalu berujung polemik. Terlebih, Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi penysisiran ke sejumlah pusat perbelanjaan yang kedapatan meminta karyawannya menggunakan atribut Santa Clause, seragam yang identik dengan perayaan natal.
Pemerintah pun memberi respons. Salah satunya melalui pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang meminta agar MUI melakukan koordinasi dengan pemerintah dan aparat kepolisian sebelum mengeluarkan pandangan hukum kepada masyarakat luas. "Agar mengeluarkan fatwa apapun, seyogyanya melaksanakan koordinasi dulu," ujar Wiranto usai rapat koordinasi terbatas di kantornya, Selasa (20/12/2016).
Langkah koordinasi tersebut dimaksudkan supaya MUI dalam mengeluarkan fatwa tidak hanya berasal dari satu persepsi dan pertimbangan saja. Tujuannya agar fatwa MUI tidak meresahkan masyarakat. "Tetapi juga harus mempertimbangkan dari berbagai perspektif. Sehingga fatwa itu tidak meresahkan masyarakat," tambah Wiranto.
Pernyataan inilah yang dinilai oleh MUI sebagai upaya pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap pendapat hukum MUI. Tidak hanya sekadar itu, MUI menilai pemerintah juga melakukan pembatasan terhadap MUI dalam ekspresi dan menyatakan pendapat dan pikiran.
"Pernyataan tersebut menurut saya sebagai bentuk kemunduran dalam praktek kehidupan berdemokrasi di Indonesia," ujar Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi dalam siaran persnya, Rabu (21/12/2016).
Zainut menambahkan sebagai ormas, keberadaan MUI dijamin oleh konstitusi dan undang-undang termasuk dalam mengeluarkan fatwa sepanjang tugas dan tanggung jawab tersebut tidak bertentangan dengan peratuan perundang-undangan. "MUI dalam setiap menetapkan fatwa senantiasa mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Tidak hanya mempertimbangkan dari aspek keagamaan saja, tetapi juga mempertimbangkan dari aspek kebhinnekaan, toleransi, kerukunan sosial dan keutuhan NKRI," tambah Zainut.
Terkait tudingan fatwa MUI dapat meresahkan masyarakat dan merusak toleransi umat beragama, Zainut menilai tudingan tersebut tidak memiliki dasar. Justru, imbuh politisi PPP ini, seharusnya fatwa MUI dimaknai sebagai bentuk kontribusi positif masyarakat dalam ikut serta membangun harmoni kehidupan umat beragama. "Serta merawat kebhinnekaan dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila," tandas Zainut.
Di bagian lain, Zainut menyebutkan posisi fatwa MUI bagi masyarakat muslim merupakan panduan dalam melaksanakan keyakinan agamanya. Oleh karenanya, Zainut menekankan, semestinya pemerintah memberikan perlindungan dan pendampingan kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama dan keyakinannya.
"MUI memberikan apresiasi kepada pemerintah jika setiap implementasi pelaksanaan fatwa selalu dikoordinasikan bersama antara MUI dengan Pemerintah sehingga dalam eksekusinya tidak menimbulkan ekses negatif di masyarakat," tegas Zainut.
Di sejumlah daerah, fatwa MUI No 56 Tahun 2016 tersebut turut serta disosialisasikan oleh pemerintah daerah. Langkah ini jauh lebih efektif daripada dilakukan oleh ormas sembari melakukan penyisiran terhadap pusat perbelanjaan yang menerapkan aturan penggunaan atribut khas natal. (knfts/ar)

Related

NASIONAL 4718314417638394533

Posting Komentar

emo-but-icon

item