Pilkada: Antara Janji dan Bukti

Oleh: Muhammad Arsyad*

Hiruk pikuk perjalanan politik Aceh menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 mendatang sudah mulai terasa. Aceh merupakan salah satu daerah yang masuk daftar yang akan menggelar Pilkada serentak tahun 2017.

Pada ajang pesta demokrasi di tanah Rencong nanti, sudah banyak tokoh dan politisi yang ingin mengikuti ajang lima tahunan sekali itu dangan maksud dan tujuan mencari dukungan dan amanah rakyat sehingga terpilih sebagai kepala daerah pada periode berikutnya. Para elit dan politisi sudah mulai bermunculan baik melalui sosialisasi dengan cara menggelar pertemuan maupun pemasangan atribut pengenalan diri kepada publik. Hal itu mulai di tengah ibu kota sampai ke pelosok negeri Serambi Mekkah. Tentu sebuah apresiasi yang setinggi-tingginya kita hadiahkan kepada calon-calon pemimpin masa depan untuk menobatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat Aceh.

Semua politisi di Aceh, baik yang sudah mendeklarasikan diri atau pun yang belum, semua beralasan demi kesejahteraan masyarakat. Mereka mengklaim bahwa mereka mampu membawa perubahan untuk kesejahteraan masyakarat Aceh, seakan-akan mereka benar-benar ingin membahawa kesejahteraan bagi masyarakat. Mereka pun mulai mengeluarkan jurus jitu demi memikat hati masyarakat, dengan memberikan pernyataan dan sekaligus janji politiknya melalui podium-podium dan sapnduk-spanduk diberbagai sudut kota demi memenangkan pilkada nanti.

“Pilkada sebagai panggilan dari rakyat untuk mensejahterakan rakyat. insha Allah akan saya sejahterakan masyarakat Aceh ke depan, karena amanat memipin suatu kaum itu merupakan kepercayaan untuk bisa mensejahterakan rakyat. Kami nanti akan memberikan perubahan  dan membuat terobosan-teroban yang bisa membawa kesejahteraan untuk rakyat Aceh yang kita cintai ini”. Kira-kira demikianlah janji-janji yang mereka lontarkan kepada masyarakat. Tetapi apakah mereka mampu membawa perubahan demi kesejahteraan rakyat Aceh sebagaimana yang mereka janjikan?

Masyarakat Aceh saat ini sudah merasa jenuh melihat sikap dan kinerja pemerintah baik di provinsi maupun kabupaten, hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan yang jauh antara yang semestinya dan yang senyataannya, ini terjadi karena praktek politik yang dilakukan oleh pemerintah kita sendiri yang tidak berbanding lurus dengan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat. masyarakat Aceh tidak butuh janji-janji akan tetapi masyarakat Aceh membutuhkan kepastian yang kongret.

Peran dan fungsi kepala daerah yang seharusnya mengayomi dan mensejahterakan rakyat, justru malah di selewengkan, dengan cara memperkaya diri dan mensejahterakan kelompoknya. ibarat kata pepatah ‘jauh panggang dari api’. Pilkada bukan menjadi ajang kontestasi politik, melainkan ruang berebut kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Mereka lupa menjalankan kekuasaan sesuai mandat Rakyat, yakni mensejahterakan Rakyat. Akhirnya seluruh program yang tujuannya mensejahtrakan masyarakat total salah sasaran dan dimanfaatkan oleh segelintir orang demi kesejahtraan, keamanan, kekayaan dirinya pribadi tanpa memikirkan rakyat. Pemimnpin hari ini cendrung dengan mendahulukan isme terhadap kelompok, pendukungnya tanpa memikirkan rakyat lainnya sehingga tonggak kepemimpinan tersebut cendrung melukai perasaan banyak orang, dan mensejahtrakan manusia lainnya. Janji-janji kesejahteraan saat kampanye jarang sekali terealisasikan.

Setiap pemimpin wajib mensejahterakan rakyatnya. Pemimpn harus bisa membawa perubahan di seluruh sektor kehidupan masyarakat Aceh, baik itu sosial, ekonomi, pendidikan, pertanian, agama dan masalah sosial lainnya, karena masih banyak persoalan-persoalan daerah yang harus di perbaiki dan di benahi. Sepatutnya para pemimpin tahu bagaimana keadaan rakyat yang dipimpinnya, lalu memikirkan solusi tiap masalah yang hadir ditataran dan kalangan yang paling rendah sehingga seluruh yang dipimpinnya merasa terayomi dan selalu merasakan kehadirannya dikalangan bawah.

Pemimpin itu adalah tonggak dari maju mundurnya sebuah daerah pada saat sekarang, jadi amat miris sekali apabila pemimpin tidak memikirkan keadaan rakyat yang ia pimpin, tidak melihat dan memantau seluruh daerah yang ia pimpin.

Setiap perjuangan merebut kekuasaan haruslah diletakkan di atas cita-cita ideal jangka panjang. Merujuk pada perjuangan kemerdekaan, berarti mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Perjuangan kekuasaan dalam Pilkada mestinya diletakkan di atas koridor ini. Agar sesuai dengan cita-cita tersebut, maka Kepala Daerah terpilih mestinya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.

Pemimpim juga perlu melakukan pemetaan atas karakteristik persoalan yang dihadapi oleh setiap daerah. Pemetaan ini bisa mewakili persoalan yang dihadapi oleh rakyat secara umum, seperti ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya, dan ekologi. Hasil dari pemetaan dan pembacaan persoalan ini akan melahirkan berbagai program solusi. Program solusi inilah yang akan digunakan calon kepala daerah untuk mengusung kampanye politik sekaligus program kerja pemerintahannya jika terpilih.

Hari ini kondisi Aceh masih sangat memprihatiankan, jumlah penduduk miskin semakin meningkat, kondisi pendidikan kian memilukan, banyak putra-putra Aceh yang hari ini putus sekolah, angka buta huruf pun kian banyak.

Dalam kondisi yang demikian, terlebih dalam kondisi ketika banyak pemimpin negeri kita yang tak amanah. Seharusnya para pemimin bisa bercermin kepada sosok kepemimpinan khalifah Umar Bin Khatab. Ketika krisis melanda Madinah, jumlah orang-orang miskin terus bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Suatu ketika, Khalifah Umar Bin Khatab dihidangkan makanan lezat oleh petugas, namun Umar menolaknya, dengan berkata “Saya akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.” Kisah tentang pertemuan Umar dengan seorang ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur, ia berkeliling dan masuk sudut-sudut kota Madinah. Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang sedang kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu.

“Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenayangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.” Demikian ungkapan-ungkapan inspirasi yang sering Umar sampaikan. Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak, Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya. Ironisnya, sikap ini justru amat jauh dari para pejabat sekarang.

Mungkin hari ini sangat sulit kita jumpai pemimpin yang demikian, tetapi paling tidak ada sedikit yang dekat dengan karakter Umar. Terakhir penulis berdoa kepada Allah semoga pemilu akan datanag menghasilkan  sosok pemimpin yang menegdepankan kejejahteraan bagi rakyatnya.

*Muhammad Arsyad adalah seorang aktivis Forum Gerakan Pemuda Peduli Aceh (FORGEPPA) sebagai Sekretaris Jenderal dan juga Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Bumoe Teuku Umar Jakarta, yang aktif dalam merespon isu-isu Aceh. Arsyad kini sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di kampus ICAS-Paramadina Jakarta, konsentrasi di bidang Filsafat Islam.

Related

OPINI 4879860414681225359

Posting Komentar

emo-but-icon

item